Surabaya — Rapat Panitia Khusus (Pansus) Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Wali Kota Surabaya bersama Dinas Sosial kembali menemukan persoalan terkait ketidaksesuaian data kemiskinan di kota ini. Anggota Pansus LKPJ DPRD Surabaya, Ajeng Wirawati, menyampaikan bahwa masyarakat masih belum sepenuhnya memahami definisi masyarakat miskin yang sebenarnya.
“Kami berharap musyawarah di tingkat kelurahan kembali diaktifkan, agar data dari RT dan RW bisa sinkron. Kecepatan dan ketepatan Dinas Sosial untuk melakukan survei sangat dibutuhkan demi mendapatkan data yang riil,” ujar Ajeng seusai rapat, Rabu (9/4/2025).
Ajeng menekankan pentingnya evaluasi untuk mengetahui secara pasti jumlah anak usia sekolah yang tidak bersekolah serta lansia yang belum mendapatkan intervensi dari Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya.
“Kita memastikan kepada Dinas Sosial agar memiliki data yang benar-benar mencerminkan kesejahteraan masyarakat Kota Surabaya,” tambahnya.
Politisi dari Fraksi Partai Gerindra ini juga menyoroti target kemiskinan ekstrem nol persen yang dinilai belum tersosialisasi dengan baik dan belum menggambarkan kondisi riil di lapangan.
“Mungkin indikator pendapatan kemiskinan ekstrem itu Rp742.000 per kapita. Tapi kalau di Surabaya, Rp25.000 per hari masih sangat minim,” jelas Ajeng.
Ia menegaskan, meskipun berdasarkan data BPS kemiskinan ekstrem di Surabaya tercatat nol persen, DPRD meminta penghitungan kesejahteraan dilakukan secara lebih komprehensif.
“Kita harus mengupayakan kesejahteraan, baik bagi keluarga miskin (gamis) maupun pra-miskin (pramis), baik yang berpenghasilan Rp742.000 per kapita ataupun di bawah Rp1,5 juta,” tuturnya.
Ajeng menambahkan, kebutuhan konsumsi harian masyarakat tidak bisa dibatasi hanya untuk makan dan minum saja, sehingga diperlukan tambahan jaminan kesejahteraan.
Sementara itu, Kepala Dinas Sosial Kota Surabaya, Anna Fajriatin, mengungkapkan bahwa ketidaksesuaian data kemiskinan juga disebabkan oleh belum adanya satu data nasional yang terintegrasi.
“Pemerintah daerah selama ini berharap ada data yang sama dari pusat, tetapi hingga kini belum ada. Setiap instansi pusat memiliki data masing-masing, ada dari PMK, ada Regsosek dari BPS,” jelas Anna.
Ia menyebutkan, setiap program bantuan juga menggunakan basis data yang berbeda-beda. Data bantuan yang diterima, lanjut Anna, harus disalurkan sesuai dengan data tersebut dan tidak boleh diubah sembarangan, kecuali dengan surat pertanggungjawaban mutlak yang prosesnya sangat sulit.
“Permasalahan ini tidak hanya terjadi di Surabaya, tapi juga di daerah lain,” katanya.
Anna pun mengaku optimistis dengan hadirnya Data Terpadu Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) yang saat ini sedang dalam tahap pemutakhiran.
“DTSEN itu data nasional yang bersumber dari DTKS Kemensos, P3KE dari Kemenko PMK, dan Regsosek dari Bappenas. Saat ini updating data dilakukan bersama pendamping PKH,” pungkas Anna. (Bai)