IMPARSIALNEWS.COM – Sejumlah pengembang perumahan besar di Surabaya diduga melakukan pelanggaran hukum dengan menjual air bersih tanpa mengikuti tarif resmi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Surya Sembada. Dugaan ini diungkap oleh Surabaya Corruption Watch Indonesia (SCWI) dalam rapat dengar pendapat (hearing) yang difasilitasi Komisi A DPRD Surabaya pada Jumat (7/3).
Tuduhan ini disampaikan dalam agenda hearing yang difasilitasi oleh Komisi A DPRD Surabaya pada Jumat (7/3). Rapat tersebut dihadiri oleh seluruh anggota Komisi A, Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga (DSDABM), Bagian Hukum Pemkot Surabaya, dan PDAM Surya Sembada. Selain itu, tiga dari empat pengembang yang diundang juga turut hadir, bersama SCWI sebagai pihak pengadu.
Dalam hearing ini, SCWI menyoroti dugaan pelanggaran regulasi yang dilakukan oleh empat pengembang besar, yaitu Citraland, Graha Famili, Royal Regency, dan Pakuwon.
Koordinator SCWI, Hari Cipto Wiyono, menegaskan bahwa praktik pengelolaan air bersih oleh para pengembang ini telah melanggar Pasal 33 UUD 1945, yang menyatakan bahwa sumber daya alam, termasuk air, harus berada di bawah kendali negara dan dikelola untuk kemakmuran rakyat.
“Seharusnya mereka tunduk pada regulasi pemerintah, dalam hal ini PDAM. Tapi kenyataannya, mereka bertindak seolah-olah negara di atas negara, menentukan tarif sendiri dan mengabaikan aturan yang ada,” kata Hari dengan tegas.
Menurutnya, hal ini tidak bisa dibiarkan berlanjut, terutama karena PDAM sudah menyatakan kesiapan mereka untuk memenuhi kebutuhan air bersih di wilayah perumahan tersebut.
“Mulai hari ini, karena PDAM sudah mampu memenuhi kebutuhan air bersih, maka seluruh pengembang harus menyerahkan pengelolaan air ke PDAM. Tidak ada toleransi. Mereka harus ikut aturan!” tegasnya.
SCWI juga menuntut agar Komisi A DPRD Surabaya segera meminta pengembang menyerahkan dokumen izin mereka terkait pengelolaan air.
“Saya tadi sudah meminta izin MoU mereka untuk pengelolaan air bersih. Ada atau tidak? Kalau tidak ada, berarti itu izin bodong. Sampai hari ini, mereka belum bisa menunjukkan izinnya,” tambahnya.
SCWI mencurigai ada praktik korupsi dalam sistem pengelolaan air yang dilakukan pengembang.
“Mereka bilang sumber air bersih separuh berasal dari PDAM, separuh lagi dari hasil pengelolaan mandiri. Nah, ini jelas ada celah korupsi! Kenapa tidak semuanya dikelola PDAM?” ungkap Hari.
Komisi A DPRD Surabaya Soroti Izin Penggunaan Air
Dalam rapat, Wakil Ketua Komisi A, Pdt. Rio Pattisellano, menegaskan bahwa kasus serupa pernah terjadi di Pelindo pada periode 2014-2019, tetapi hingga kini belum ada solusi yang jelas.
“Kita harus berpikir komprehensif. SCWI benar bahwa negara harus hadir, tapi kita juga tidak bisa mengabaikan investasi yang sudah dikeluarkan pengembang. Maka, transisi ke PDAM harus dilakukan secara bertahap agar tidak merugikan pihak manapun,” jelas Rio.
Ia menyarankan agar pengembang meningkatkan porsi penggunaan air dari PDAM secara bertahap—dari yang awalnya 50% menjadi 75%, hingga akhirnya 100% di bawah kendali PDAM.
Pengambilan Air Tanpa Izin Adalah Pelanggaran
Sementara Ketua Komisi A DPRD Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko, ditemui usai rapat menyoroti fakta bahwa beberapa pengembang mengambil air dari Sungai Brantas dan Sungai Cangkir di Gresik tanpa kejelasan izin.
“Kami meminta para pengembang menunjukkan izin mereka dalam pengambilan air permukaan. Jika ada MoU dengan pemerintah kota, maka ini sah. Tapi kalau tidak ada, ini bisa dianggap pelanggaran hukum,” ujar Yona.
Komisi A menegaskan bahwa sesuai dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, pengelolaan air bersih di Indonesia harus berada di bawah kendali negara dan tidak boleh dikelola oleh swasta tanpa izin yang sah.
“Jika terbukti mereka mengambil air tanpa izin resmi, maka ini adalah pelanggaran serius. Negara harus hadir dan menegakkan aturan!” tegasnya.
DPRD Minta Pemkot Surabaya Bertindak Tegas
Untuk memastikan pengelolaan air kembali ke negara, Komisi A berencana meminta Pemkot Surabaya mengirimkan surat kepada Kementerian PUPR untuk mencabut izin pengambilan air bagi pengembang yang tidak patuh.
Ketua Komisi A menekankan bahwa pengambilalihan pengelolaan air ini juga bisa menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang besar bagi Pemkot Surabaya.
“Kalau semua pengembang ini beralih ke PDAM, maka ini bisa menambah PAD kota. Bayangkan potensi yang bisa kita dapatkan jika seluruh air bersih dikelola oleh PDAM, bukan oleh swasta,” kata Yona Bagus.
Dari sisi bisnis, Komisi A memahami bahwa pengembang telah mengeluarkan investasi besar untuk membangun sistem pengelolaan air sendiri. Oleh karena itu, mereka mengusulkan agar pengambilalihan ini dilakukan secara bertahap, sesuai dengan perhitungan Break Even Point (BEP) atau Return on Investment (ROI) pengembang.
“Kami ingin semua pihak mendapat solusi yang adil. Maka, skema transisinya harus jelas. Tidak bisa tiba-tiba dipaksakan 100%, tapi harus ada tahapan,” jelasnya.
Yona Bagus: Semua Harus Tunduk pada Regulasi
Komisi A DPRD Surabaya memastikan akan mengawal proses ini hingga seluruh pengembang menyerahkan pengelolaan air bersih mereka kepada PDAM.
“Jika ada pengembang lain di Surabaya yang juga mengelola air secara mandiri, mereka juga harus mengikuti aturan. Ini soal asas keadilan. Semua harus tunduk pada regulasi yang sama,” tegas Yona Bagus.
Komisi A juga menegaskan bahwa mereka akan memastikan PDAM mampu menyediakan layanan yang memadai sebelum pengambilalihan ini dilakukan secara penuh.
“Kami tidak ingin ketika para pengembang akhirnya menyerahkan pengelolaan air ke PDAM, ternyata PDAM tidak siap. Ini juga harus jadi perhatian,” pungkasnya. (Ks/@)